Selasa, 11 Mei 2010

HACHIKO, kesetiaannya tak lekang oleh waktu


Angin bertiup agak keras. Musim semi pun sudah mulai menua sehingga bunga-bunga sudah mulai melayu. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih sedikit. Seperti hari-hari biasa, Kamis pagi itu, Hidesaburo Ueno, professor di Fakultas Pertanian, Universitas Imperial Tokyo (sekarang Universitas Tokyo) berangkat menuju ke kampus setelah bermain-main sebentar dengan Hachi, anjing ras Akita, Jepang miliknya yang berusia 18 bulan. Dia memang hanya tinggal sendirian ditemani anjing itu di rumahnya di bilangan Shibuya, Tokyo. Oleh sebab itu, tak heran hubungan di antara kedua makhluk Tuhan itu begitu erat.

Hari itu, seperti juga pagi-pagi biasanya, ditemani Hachi, Profesor Ueno berangkat ke Stasiun Shibuya untuk naik kereta menuju kampus. Hachi—yang kemudian lebih dikenal dengan nama Hachiko(ハチ公)—ketika sang profesor pergi ke kampus biasanya akan bermain-main di sekitar stasiun. Kepala Stasiun Shibuya, Yoshikawa-san, sudah hafal betul. Dia sangat mengenal baik Prof. Ueno maupun Hachi. Jadi, biasanya dia sesekali mengawasi Hachi dari balik jendela kantornya.

Biasanya ketika jam menunjukkan pukul tiga kurang lima menit, Hachi sudah akan berdiri tegak menunggu tuannya dengan setia di tempat ketika tadi pagi sebelumnya mereka berpisah. Tepat pukul tiga sore, Prof. Ueno biasanya akan muncul dari balik gerbang stasiun. Namun, sore hari itu, 21 Mei 1925, Prof. Ueno tidak muncul. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Hachi dengan setia menunggu. Hingga kereta terakhir pukul sepuluh malam, Prof. Ueno tak kunjung tiba.

Yoshikawa-san, Kepala Stasiun Shibuya, yang berpikir barangkali Prof. Ueno tidak kembali naik kereta berupaya mengajak Hachi pulang. Namun, anjing itu keukeuh tidak mau pulang. Anjing itu tetap menunggu hingga hari berganti. Ternyata hari itu Prof. Ueno tidak mungkn kembali naik kereta. Dia telah meninggal mendadak di kampusnya akibat serangan stroke pada hari itu. Dan Hachi tidak mengetahuinya. Bagi Hachi, tuannya tetap belum kembali.

Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Bahkan, tahun berganti tahun. Hachi selalu menunggu tuannya di tempat sama pada pukul 14.55. Kembali pulang ketika tuannya tak kunjung muncul, namun tetap kembali di tempat yang sama pada keesokan harinya. Warga shibuya yang hampir tiap hari melihat anjing itu di depan Stasiun Shibuya menjadi jatuh simpati. Untuk menghormatinya, pada tahun 1934, masyarakat Shibuya membangun monumen untuk mengabadikan kesetiaan Hachi yang tak pernah luntur.

Pada hari Jumat, 8 Maret 1935, Hachi tak nampak di depan Stasiun Shibuya. Tentu saja itu mengundang pertanyaan bagi banyak orang. Ke mana perginya anjing setia itu? Ternyata sejak hari itu, Hachi memang tidak pernah datang lagi. Ia telah mati menyusul tuannya, Prof. Hidesaburo Ueno, yang telah 10 tahun meninggalkannya. Jasadnya kemudian dikremasi dan dimakamkan di tempat sama dengan Prof. Ueno di pemakaman elite Aoyama.

Hachiko memang hanya seekor anjing. Namun, kesetiaannya telah melampaui batas-batas dunianya dan menginspirasi ribuan orang yang hampir tiap minggu selalu berlalu lalang di depan patungnya di Shibuya. Monumen Hachiko memang menjadi tempat yang paling sering digunakan untuk janji bertemu di kawasan Stasiun Shibuya. Beberapa muda-mudi Jepang pun sering memadu janji setia di depan patung Hachiko. Seolah-olah Hachiko menjadi simbol bagi janji dan kesetiaan; tentu saja, sebuah kesetiaan yang tak lekang ditelan waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar